FFDB 2011

Rangkaian Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2011 dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Juli 2011. Festival ini menyakup empat kegiatan yakni: Workshop, Meet the Maestro, Lomba Film Dokumenter, dan pemutaran film. Workshop film dokumenter yang diselenggarakan di seluruh kabupaten/kota di Bali, dimulai dari Singaraja (14 Januari 2011) dan berarkhir di Denpasar (25 Pebruari 2011). Workshop ini menyasar para peminat film dokumenter muda di masing-masing kabupaten/kota. Tampil sebagai tutor dalam program ini adalah Erick EST, Samsul Hadi, dan Agung Bawantara. Ketiganya adalah pegiat media audio-visual yang berdomisili di Bali.

Setelah rangkaian workshop itu usai, selanjutnya digelar acara Meet the Maestro yang mempertemukan para pegiat film dokumenter di Bali dengan maestro di bidang ini. Maestro yang dihadirkan pada kesempatan ini adalah Dr. Lawrence Blair, seorang Antropolog yang menekuni dunia dokumenter sejak tahun 1970-an. Karya Lawrence yang berjudul "Ring of Fire" memenangi Emmy Award sebagai seri dokumenter terbaik.

Bersamaan dengan kedua acara tersebut, penguman lomba film dokumenter disebarluaskan. Lomba ini dibagi menjadi dua kategori yakni Kategori Umum dan Kategori Ponsel. Kategori Umum untuk mereka yang menggunakan peralatan profesional, sedangkan Kategori Ponsel adalah mereka yang membuat karyanya dengan kamera yang terdapat dalam telepon seluler. Ada 34 karya yang masuk dalam lomba tersebut. Tampil sebagai juara dalam lomba tersebut adalah "Lampion-lampion" karya Dwitra J. Ariana.

Film “Lampion-lampion” mengisahkan kehidupan masyarakat Desa Lampu di Kabupaten Bangli, mengisahkan kehidupan bertoleransi masyarakat suku Bali dan suku Tionghoa yang sudah berjalan turun temurun. Di desa tersebut, kedua suku tersebut hidup berdampingan secara rukun. Keduanya saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Sekalipun minoritas, masyarakat, Suku Tionghoa punya peluang yang sama dengan Suku Bali untuk menduduki jabatan puncak di banjar adat maupun di desa. Jika ada upacara adat Bali, masyarakat Suku Tionghoa berbaur dengan masyarakat Bali untuk melaksanakan dan merayakannya. Jika ada masyarakat Suku Tionghoa meningggal, masyarakat Suku Bali terjun membantu meringankan beban keluarga yang berduka. Dari sejak mebuat upakara hingga menggali liang lahat.

Selain "Lampion-Lampion”, karya lain yang keluar sebagai juara pada festival kali ini adalaj "Opera Batak" karya Andi Hutagalung dari Kota Medan - Sumatera Utara. Film dokumenter ini berkisah tentang pasang-surut sebuah seni pertunjukan opera di Batak. Bagaimana kesenian tersebut sempat jaya kemudian tersisih dan kini mencoba bangkit kembali.

Juara tiga dimenangi oleh film "Seni Budaya Antara Realita dan Harapan” karya Putu Widana Yuniawahari yang disponsori oleh Disbudpar Kabupaten Klungkung. Film ini mengisahkan tentang anak-anak di sebuah desa terpencil di dekat tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Klungkung. Mereka mempelajari seni budaya Bali sembari mengais-ngais sampah untuk membantu ekonomi keluarga mereka.

Dua nomine yang lainnya adalah "Baris Jangkang" karya siswa SMKN 1 Mas Ubud, Gianyar, yang memaparkan tentang asal-usul dan kehidupan tari tradisi Baris Jangkang yang sacral di Nusa Penida, dan “Baris Cina” produksi Pemerintah Kota Denpasar yang disutradarai oleh I Komang Gde Mayusa.

Sementara untuk kategori ponsel, yaitu karya yang dibuat dengan kamera telepon seluler, tampil sebagai juara adalah “Asal- usul Wong Perahu Desa Adat Merita” karya siswa SMK PGRI Karangasem. Juara I dan II untuk kategori ini dinyatakan tidak ada karena tak ada karya peserta yang memenuhi standar yang ditentukan oleh dewan juri.**

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews