11 December 2011

"Lampion-Lampion", Kearifan dari Desa Lampu

Film “Lampion-lampion” dinobatkan sebagai film terbaik dalam lomba film dokumenter pada Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2011 yang digelar pada Juni-Juli 2011 di Pusat Kesenian "Werdhi Budaya", Denpasar. Film dokumenter karya Dwitra J. Ariana ini mengisahkan kehidupan bertoleransi masyarakat suku Bali dan suku Tionghoa yang sudah berjalan turun temurun di Desa Lampu di Kabupaten Bangli. Di desa tersebut, kedua suku itu hidup berdampingan secara rukun. Keduanya saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Yang unik, sekalipun minoritas, masyarakat Suku Tionghoa memiliki peluang yang sama dengan Suku Bali untuk menduduki jabatan puncak di banjar adat maupun di desa mereka. Jika ada upacara adat Bali, masyarakat Suku Tionghoa berbaur dengan masyarakat Bali untuk melaksanakan dan merayakannya. Jika ada masyarakat Suku Tionghoa meningggal, masyarakat Suku Bali terjun membantu meringankan beban keluarga yang berduka. Dari sejak mebuat upakara hingga menggali liang lahat.
Oleh juri, “Lampion-lampion” ditetapkan sebagai film terbaik FFDB 2011 mengungguli 5 nomine dari 34 peserta yang berpartisipasi karena film ini menyajikan gaya bertutur dan dramaturgi yang baik. Topik yang diangkatnya pun menarik.

Para juri itu adalah Dr. Lawrence Blair, Slamet Rahardjo Djarot, Rio Helmi, Prof. Dr. I Wayan Dibia, dan Hadiartomo.

Pada festival ini seluruh karya yang ikut serta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali sendiri. Seluruhnya ada 34 karya, melonjak dua kali lipat lebih dari tahun tahun sebelumnya yang hanya 14 karya. Dari keseluruhan karya yang masuk, sebagian besar peserta mengikuti kategori profesional. Hanya lima peserta yang mengikutkan karyanya dalam kategori ponsel.

Selain "Lampion-Lampion”, karya lain yang keluar sebagai juara pada festival kali ini adalaj "Opera Batak" karya Andi Hutagalung dari Kota Medan - Sumatera Utara. Film dokumenter ini berkisah tentang pasang-surut sebuah seni pertunjukan opera di Batak. Bagaimana kesenian tersebut sempat jaya kemudian tersisih dan kini mencoba bangkit kembali.

Juara tiga dimenangi oleh film "Seni Budaya Antara Realita dan Harapan” karya Putu Widana Yuniawahari yang disponsori oleh Disbudpar Kabupaten Klungkung. Film ini mengisahkan tentang anak-anak di sebuah desa terpencil di dekat tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Klungkung. Mereka mempelajari seni budaya Bali sembari mengais-ngais sampah untuk membantu ekonomi keluarga mereka.

Di urutan empat adalah "Baris Jangkang" karya siswa SMKN 1 Mas Ubud, Gianyar, yang memaparkan tentang asal-usul dan kehidupan tari tradisi Baris Jangkang yang sacral di Nusa Penida. Dan, diurutan lima adalah “Baris Cina” karya I Komang Gde Mayusa. Film ini memaparkan sejarah tari bari Cina di kawasan selatan kota Denpasar yang di dalamnya sarat dengan nilai akulturasi budaya.

Sementara, untuk kategori ponsel, yaitu karya yang dibuat dengan kamera telepon seluler, yang tampil sebagaijuara adalah “Asal- usul Wong Perahu Desa Adat Merita” karya siswa SMK PGRI Karangasem. Juara I dan II untuk kategori ini dinyatakan tidak ada karena tak ada karya peserta yang memenuhi standar yang ditentukan oleh dewan juri.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews